PEKANBARU – Sebuah perkara pencurian sepeda motor di Kota Pekanbaru berakhir damai. Korban memilih memaafkan pelaku, hal ini membuat Kejaksaan Tinggi (Kejati) Riau secara resmi mengajukan penghentian penuntutan berdasarkan prinsip Keadilan Restoratif atau Restorative Justice.
Pengajuan tersebut disampaikan langsung oleh Kepala Kejati (Kajati) Riau, Sutikno, didampingi Wakil Kajati Edi Handojo, Asisten Tindak Pidana Umum (Aspidum) Otong Hendra Rahayu, Asisten Pengawasan Dwi Astuti Beniyanti, serta jajaran, kepada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) melalui Direktur A, Hari Wibowo. Ekspos perkara dilakukan secara virtual dari ruang rapat utama (rupatama) Kejati Riau, Senin (8/12).
“Perkara ini menjerat tersangka Muhammad Rio Syahputra Siregar, yang sebelumnya disangkakan Pasal 362 KUHP tentang pencurian,” ujar Asisten Intelijen Kejati Riau Sapta Putra melalui Kepala Seksi (Kasi) Penerangan Hukum (Penkum) dan Humas, Zikrullah.
Ia menjelaskan, penghentian penuntutan tersebut diajukan oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Pekanbaru. Kepala Kejari (Kajari) Pekanbaru Silpia Rosalina, Kasi Pidum Marulitua Johannes Sitanggang, serta jaksa fasilitator turut hadir dalam ekspos.
Setelah evaluasi mendalam, Kejati Riau menilai seluruh syarat formil dan materiil telah terpenuhi sesuai Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.
“Atas dasar itu, Jampidum melalui Direktur A menyetujui pengajuan penghentian penuntutan,” kata Zikrullah.
Ia menegaskan, keadilan restoratif mengedepankan nilai kemanusiaan tanpa mengabaikan rasa keadilan.
“Keadilan restoratif bukan berarti membenarkan perbuatan pidana, tetapi memberi ruang bagi pemulihan,” sebut Zikrullah.
“Dalam perkara ini, tersangka menyesali perbuatannya, korban telah memaafkan, dan kerugian dipulihkan. Ini menjadi pembelajaran bagi semua pihak,” sambung mantan Kasi Perdata dan Tata Usaha Negara (Datun) Kejari Pekanbaru itu.
Menurutnya, Kejaksaan terus mendorong penyelesaian perkara-perkara tertentu dengan pendekatan perdamaian dan nilai-nilai sosial, sepanjang memenuhi ketentuan hukum. “Hukum hadir bukan semata-mata untuk menghukum, tetapi juga untuk memulihkan dan menciptakan harmoni di tengah masyarakat,” tutupnya.
Terpisah, Kasi Pidum Kejari Pekanbaru Marulitua Johannes Sitanggang memaparkan kronologis kejadian. Peristiwa bermula pada Minggu (5/10) sekitar pukul 10.00 WIB. Saat itu, Rio berangkat dari Jalan Hangtuah, Kecamatan Tenayan Raya, menuju Jalan Harapan Raya dengan menggunakan bus kota.
“Namun, bus yang ditumpanginya salah jurusan sehingga ia diturunkan di depan Mal Pekanbaru,” ujar Maruli.
Dalam kondisi bingung, Rio berjalan kaki menuju Jalan Harapan Raya. Ketika melintas di depan sebuah toko pasar rakyat, ia melihat satu unit sepeda motor Honda Beat warna magenta hitam dengan nomor polisi BM 6537 AAH terparkir dengan kunci masih tergantung.
Dorongan sesaat membuat Rio mendekati motor tersebut. Ia mendorong kendaraan sejauh kurang lebih 18 meter dari area parkir, lalu menghidupkannya dan pergi tanpa seizin pemilik.
Namun, pada malam hari sekitar pukul 19.00 WIB, langkahnya terhenti. Saat melintas di Jalan Jenderal Sudirman, Rio dihentikan dua pria yang mengaku sebagai pemilik motor, Erianto alias Eri dan Amri Fahmi. “Tersangka kemudian dibawa ke Kantor Polresta Pekanbaru untuk diproses lebih lanjut,” kata mantan Kasi Pidum Kejari Bengkalis itu.
Meski sempat menempuh proses hukum, perkara ini berujung damai setelah dilimpahkan ke Jaksa Penuntut Umum (JPU). Pada Selasa (25/11), perdamaian digelar di Bilik Damai Lembaga Adat Melayu (LAM) Pekanbaru. Mediasi dihadiri pihak Kejaksaan, penyidik Polresta Pekanbaru, keluarga kedua belah pihak, Ketua LAMR Pekanbaru, serta tokoh masyarakat.
Dalam forum tersebut, korban secara tulus menyatakan memaafkan perbuatan tersangka dan sepakat menyelesaikan perkara di luar persidangan. “Dalam waktu dekat, Kepala Kejaksaan Negeri Pekanbaru akan menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Perkara (SKP2),” tegas Maruli.





